Aktivitas manusia setiap hari sulit lepas dengan sampah. Bahkan tanpa disadari manusia telah menjadi produsen sampah. Mulai sisa bungkusan makanan misalnya. Rumah tangga maupun perusahaan merupakan penghasil tetap sampah. Maka butuh terobosan buat menyikapinya. Sampah dapat menjadi bencana menakutkan jika tidak mampu ditanggulangi.
SEBUAH tragedi sampah terjadi pada September 1999 di Payatas, Quezon City Filipina. Ratusan meninggal, terkubur hidup-hidup di bawah kotoran gunung sampah yang runtuh akibat hujan lebat. Itu adalah menjadi bencana buatan manusia terburuk yang pernah melanda dunia. Tentunya bencana sampah tersebut tidak boleh terulang apalagi sampai melanda Kota Pontianak.
Masyarakat Kota Pontianak menghasilkan 250 hingga 300 ton sampah setiap hari. Sebanyak 1.424 meter kubik sampah mesti diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir. Sebuah persoalan nyata yang bergilir sepanjang hari. Tentunya Pontianak tak mampu melepaskan beban sampah hanya mengandalkan ke TPA. Sebab lokasi pembuangan tidak selamanya bakal mampu menampung. Jika tidak ingin bencana sampah menghantui, tentu butuh terobosan.
Pemerintah Kota Pontianak telah mengeluarkan Perda Nomor 58 Tahun 2009 tentang jadwal pembuangan sampah. Masyarakat hanya diperkenankan membuang sampah sisa kebutuhan hidup sejak pukul 18.00 hingga 06.00. Lengkap dengan penjagaan ketat petugas kebersihan dari instansi terkait mengawasi lokasi pembuangan. Sanksi tegas bakal diberikan kepada masyarakat jika kedapatan secara sengaja melanggar ketentuan. Mulai teguran hingga denda.
Namun untuk penuntasan masalah sampah di kota Pontianak telah timbul upaya di kalangan masyarakat. Tetapi masih dalam ruang lingkup kecil. Belum secara menyeluruh.
Tapi setidaknya bisa menjadi catatan penting. Melalui kesadaran yang muncul masyarakat mampu mengelola sampah berbasis lingkungan. Sebuah edukatif dan pengembangan yang perlu diperluas cakupannya.
Kawasan di Jalan 28 Oktober, Komplek Dwiratna Indah Jalur III Pontianank Utara, gagasan pemilahan sampah telah bergulir sejak 2006. Masyarakat setempat mengelola secara mandiri sampah organik dan an organik.
Ketua RT setempat, Syaifudin, bergerak berjuang mengatasi masalah sampah. Dengan mengajak penduduk di lingkungannya tidak membiarkan sampah menjadi barang yang menumpuk. Tetap diolah dan dilahirkan sebagai barang berdaya nilai.
Misal sampah organik diciptakan menjadi bahan pembuat kerajinan tangan. Jadi plastik sisa bukan menjadi barang yang harus dibuang. Mengingat plastik merupakan barang yang sulit mengurai serta bila dibakar menimbulkan polusi. Sehingga pengenalan utama yang dimunculkan yakni pengelolaan lingkungan berbasis lingkungan.
“Sampah bukan musuh tapi bisa juga sebaliknya. Sampah menjadi barang tidak berharga jika tidak dikelola dengan baik. Tapi akan baik jika dikelola dengan baik,” kata Syaifudin seraya memperlihatkan kerajinan tangan berbahan sampah an organik, Sabtu (8/5).
Sementara mengelola sampah organik Syaifudin dan warga setempat menyiapkan sebuah tong. Tapi bukan sekedar tong untuk membuang sampah. Melainkan sebagai tempat pengolahan sampah untuk menjadi pupuk. Pengolahan tersebut sangat sederhana dan tidak membutuhkan biaya mahal. Tetapi yang pasti merupakan solusi dan patut dicontoh dalam mengatasi sampah.
Tidak heran jika disekitar lingkungan Syaifudin tidak membutuhkan Tempat Pembuangan Sementara (TPS). Sebab masyarakat telah secara sadar mengelola sampah mereka secara mandiri. Berkat kegigihan usahanya Syaifudin bahkan sempat diundang lembaga dunia sekelas Green Peace. Meski itu bukan menjadi tujuan utamanya.
Karena bagi Syaifudin edukasi serta menumbuhkembangkan kesadaran menyikapi masalah sampah paling penting. Sampah bukan masalah kelompok masyarakat berekonomi kuat maupun lemah. Tetapi masyarakat secara menyeluruh. Karena sampah bisa mengancam lingkungan. Jika tanpa penanggulangan secara dini.
Aktivis Walhi Kalbar, Henrikus Adam mengatakan penerapan pola perda membuang sampah dianggap bukan merupakan menjadi solusi. Namun penerapan pengelolaan sampah berbasis kemasyarakatan paling penting.
Perlu dikembangkan adalah bentuk atau pola sentralisasi-desentralisasi. Dimana masyarakat dengan bimbingan pemerintah membentuk Instalasi Pengelolaan Sampah Organik disetiap sumber sampah yang dominan lalu pemerintah membentuk Industri Daur Ulang Sampah semacam Instalasi Pengelolaan Sampah Kota (IPSK).
Sebagai konsep bersih mandiri dalam mensiasati permasalahan sampah. Sekaligus menjadi upaya memecahkan masalah sampah dengan melihat pola penanganan yang ada. Dengan demikian pada titik mana dari mata rantai pembuangan sampah tersebut dapat dilakukan perbaikan dan penyempurnaan sehingga sampah yang masuk ke TPA pada akhirnya hanya berupa sampah yang tidak dapat diolah kembali, misalnya sampah beracun, berbau dan berbahaya.**
0 komentar:
Posting Komentar